
Saat itu aku tak tahu dari mana seorang Jendral atau pejabat punya duit berlebih untuk membayarku, tak terlintas dalam benakku kalau sebenarnya mereka tidak membayar dari kantungnya sendiri, tapi atas service dari orang lain, kolega, konco KKN, rekanan bisnis atau lainnya. Baru belakangan setelah aku freelance aku tahu semua permainan para pejabat dan pengusaha, terlalu busuk untuk diikuti, tapi toh sedikit banyak aku ikutan menikmati manisnya era Orde Baru.
Tepat pukul 12 siang muncullah sang pejabat, dia diantar Om Lok, seorang Chinese lainnya dan Pak Sam, mereka bertiga berada di kamarku, setelah menemani sebentar kemudian Om Lok dan Chinese satunya meninggalkan kamar.
Meskipun aku tidak dikenalkan siapa beliau, tapi aku langsung tahu karena sebagai pejabat militer di Jatim dia sering muncul di Koran atau TV. Aku tahu namanya Pak Im, beliau lebih memilih berkarir di Sipil, sekarang masih menjabat sebagai pejabat tinggi di Jatim.
“oh ini toh primadona si Lok” begitu komentar Pak Im ketika melihatku yang waktu itu mengenakan gaun hijau berbelahan dada rendah sehingga tampak tonjolan bukit dadaku.
Aku menawari minuman pada mereka berdua, tentu mereka bisa menikmati tonjolan buah dadaku ketika aku membungkuk menyajikan minuman di meja.
Pak Im memintaku duduk di sampingnya setelah aku memberikan minuman, Pak Sam hanya memandangku dengan penuh arti.
“jangan bilang bapak kalau kita udah pernah, pura pura saja kita belum pernah kenal” kata Pak Sam pelan ketika Pak Im sedang ke kamar mandi, padahal Pak Sam sudah lebih dari tiga kali menikmati manisnya tubuhku, sehingga aku cukup akrab mengenalnya.